Menurut pemerhati pendidikan Seto Mulyadi, pola asuh yang tepat dalam membentuk anak berkarakter positif tidak bisa dilepaskan dari Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, yang terkenal dengan ing ngarsa sung tuladha ( di depan memberi teladan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), dan tut wuri handayani (dibelakang memberi dorongan).
Artinya, hakikat mendidik pada dasarnya adalah memberikan suri teladan, membangun motivasi diri dan mewujudkan perbedayaan diri.
“Anak selalu mencontoh, terutama di rumah dengan orang terdekatnya. Jika anak melihat orangtuanya selalu menolong, berkata-kata penuh kasih sayang, anak juga akan meniru hal itu.
Karakter positif anak akan terbentuk bila orangtuanya memiliki karakter positif. Karakter positif yang dimiliki individu akan memiliki energi positif yang pengaruhnya mampu menyebar ke lingkungan sekitar. Serta dapat menciptakan karakter positif pula terhadap individu yang lain.
Pada dasarnya anak-anak telah memiliki karakter positif sejak kecil. Misalnya, jujur, toleransi, kasih sayang, dan kreatif. Namun dalam perjalanan waktu, karakter positif yang dibawa dari lahir itu terkikis. Itu terjadi karena akibat pola asuh yang salah dari orangtuanya.
Misalnya, anak yang kreatif menjadi tertekan dan tidak berkembang karena terlalu banyak larangan dari orangtuanya. “Terlalu sering berkata jangan. Itu membuat anak tidak lagi kreatif.
Guru juga memberikan andil ketika menyuruh murid-muridnya hanya menggambar gunung serta sawah dengan warna yang itu-itu saja. Biarkan anak menggambar sesuka hatinya. Begitu juga pemilihan warnya.
Orang tua juga, baik disadari atau tidak memberikan contoh berbohong. Seperti meminta anaknya untuk memberi tahu tidak ada di rumah ketika ada telepon atau orang mengetuk pintu di rumah, padahal ada di rumah.
Kebalikannya juga, karakter positif itu semakin melekat sampai dewasa ketika orangtua selalu memberikan kata-kata yang positif dan penuh kasih sayang serta contoh yang baik.
Dia mengatakan orangtua harus selalu ditekankan bahwa kecerdasan pikir atau IQ yang tinggi bukan lagi jaminan satu-satunya keberhasilan hidup seseorang.
Ada faktor lain, yakni kecerdasan emosional. Selain itu juga perlu disadari bahwa kecerdasan seseorang juga bukan hanya cerdas logika saja (kognitif). Seperti dikatakan oleh Howard Gardner (1983) yang terkenal dengan multiple inteligences. Semua anak pintar, tetapi memiliki kecerdasan masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar